BIOTANOL, BBM dari Singkong
Bangunan di tepi jalan alternatif ke kota Sukabumi itu tersembunyi di antara kebun singkong. Tak ada yang mengira di gedung 3 kali lapangan voli itu Soekaeni mengolah umbi singkong menjadi 2.100 liter bioetanol setiap bulan. Dari jumlah itu 300 liter dijual ke pengecer premium dan 800 liter ke pengepul industri kimia. Harga jual untuk kedua konsumen itu sama: Rp10.000 per liter, sehingga pensiunan PT Telkom itu meraup omzet Rp21-juta per bulan.
Biaya untuk memproduksi seliter bioetanol berbahan baku singkong berkisar Rp3.400- Rp4.000. Satu liter bioetanol terbuat dari 6,5 kg singkong. Dari perniagaan bioetanol pria kelahiran 6 September 1950 itu meraup laba bersih Rp12-juta per bulan. Selain singkong, sekarang ia juga memanfaatkan molase alias limbah tetes tebu sebagai bahan baku. Bioetanol produksi Soekaeni itulah yang dimanfaatkan sebagai campuran premium oleh para tukang ojek di Nyangkowek, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, untuk bahan bakar kendaraan bermotor. Satu liter premium diberi campuran 0,1 liter bioetanol.
Meski harganya lebih mahal ketimbang premium, mereka tetap membelinya karena kinerja mesin lebih bagus dan konsumsi bahan bakar lebih hemat. Setahun terakhir popularitas bioetanol alias etanol yang diproses dari tumbuhan dan biodiesel atau minyak untuk mesin diesel dari tanaman memang meningkat. Keduanya-bioetanol dan biodiesel-merupakan bahan bakar nabati. Bersamaan dengan tren itu, bermunculan produsen bioetanol skala rumahan. Menurut Eka Bukit, produsen bioetanol, kriteria skala rumahan bila produksi maksimal 10.000 liter per hari.
Saat ini volume produksi skala rumahan beragam, dari 30 liter hingga 2.000 liter per hari. Selain Soekaeni di Cicurug, Sukabumi, masih ada Sugimin Sumoatmojo. Warga Bekonang, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, itu mengolah 1.500 molase alias limbah pabrik gula menjadi 500 liter bioetanol per hari. Untuk menghasilkan 1 liter bioetanol pria kelahiran 31 Desember 1947 itu memerlukan 3 liter molase.
Ia mengutip laba Rp2.500 per liter sehingga keuntungan bersih mencapai Rp1.250.000 per hari. Selama sebulan, mesin bekerja rata-rata 30 hari. Dengan demikian total jenderal volume produksi mencapai 15.000 liter yang memberikan untung bersih Rp37,5-juta per bulan. Di Bekonang dan sekitarnya, produsen bioetanol skala rumahan menjamur. Menurut Sabaryono, ketua Paguyuban Perajin Bioetanol Sukoharjo, total produsen mencapai 145 orang.
Bahan berlimpah
Daftar produsen bioetanol skala rumahan kian panjang jika ditulis satu per satu. Mereka bertebaran di Sukoharjo, Pati, (Jawa Tengah), Natar (Lampung), Sukabumi (Jawa Barat), Minahasa (Sulawesi Utara), dan Cilegon (Banten). Para produsen kecil itu mengendus peluang bisnis bioetanol. Harap mafhum, bahan baku melimpah, proses produksi relatif mudah, dan pasar terbentang menjadi daya tarik bagi mereka.
Menurut Dr Arif Yudiarto, periset bioetanol di Balai Besar Teknologi Pati, ada 3 kelompok tanaman sumber bioetanol. Ketiganya adalah tanaman mengandung pati, bergula, dan serat selulosa. Beberapa tanaman yang sohor sebagai penghasil bioetanol adalah aren dengan potensi produksi 40.000 liter per ha per tahun, jagung (6.000 liter), singkong (2.000 liter), biji sorgum (4.000 liter), jerami padi, dan ubijalar (7.800 liter).
Pada prinsipnya pembuatan bioetanol melalui fermentasi untuk memecah protein dan destilasi alias penyulingan yang relatif mudah sehingga gampang diterapkan. Berbeda dengan proses produksi biodiesel yang harus melampaui teknologi esterifikasi dan transesterifikasi. Apalagi sebetulnya bioetanol bukan barang baru bagi masyarakat Indonesia. Pada zaman kerajaan Singosari-700 tahun silam-masyarakat Jawa sudah mengenal ciu alias bioetanol dari tetes tebu. Itu berkat tentara Kubilai Khan yang mengajarkan proses produksi.
Lalu pasar? Eka Bukit yang mengolah nira aren kewalahan melayani permintaan bertubi-tubi. Setidaknya 275.000 liter permintaan rutin per bulan tak mampu ia pasok. Permintaan itu datang dari industri farmasi dan kimia. 'Pasarnya luar biasa besar,' ujar alumnus Carlton University itu. Oleh karena itu Eka tengah membangun pabrik pengolahan bioetanol di Kabupaten Lebak, Banten. Menurut Indra Winarno, direktur PT Molindo Raya Industrial produsen di Malang, Jawa Timur, permintaan etanol, 'Tak terbatas.'
Pasok langsung
Sebagai substitusi bahan bakar premium, permintaan bioetanol sangat tinggi. Mari berhitung, 'Kebutuhan bensin nasional mencapai 17,5- miliar per tahun,' ujar Ir Yuttie Nurianti, manajer Pengembangan Produk Baru Pertamina. Yuttie menuturkan 30% dari total kebutuhan itu impor. Seperti diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No 5/2006 dalam kurun 2007-2010, pemerintah menargetkan mengganti 1,48-miliar liter bensin dengan bioetanol lantaran kian menipisnya cadangan minyak bumi.
Persentase itu bakal meningkat menjadi 10% pada 2011-2015, dan 15% pada 2016-2025. Pada kurun pertama 2007-2010 selama 3 tahun pemerintah memerlukan rata-rata 30.833.000 liter bioetanol per bulan. Dari total kebutuhan itu cuma 137.000 liter bioetanol setiap bulan yang terpenuhi atau 0,4%. Itu berarti setiap bulan pemerintah kekurangan pasokan 30.696.000 liter bioetanol untuk bahan bakar.
Pangsa pasar yang sangat besar belum terpenuhi lantaran saat ini baru PT Molindo Raya Industrial yang memasok Pertamina. Dari produksi 150.000 liter, Molindo memasok 15.000 liter per hari. Molindo menjual biopremium melalui Pertamina Rp5.000 per liter.
Mungkinkah produsen skala rumahan memasok Pertamina? Kepada wartawan Trubus Imam Wiguna, Yuttie mengatakan, 'Pertamina menerima berapa pun pasokan bioetanol dari pihak swasta. Yang penting memenuhi syarat.' Syarat yang dimaksud sang manajer adalah berkadar etanol minimal 99,5%. Rata-rata bioetanol hasil sulingan produsen skala rumahan berkadar 90-95%. Agar syarat itu tercapai, produsen dapat mencelupkan penyerap seperti batu gamping dan zeolit sehingga kadar etanol melonjak signifikan.
Selain itu, pemasok harus mengantongi izin usaha niaga bahan bakar nabati dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Ketua Tim Nasional Bahan Bakar Nabati Ir Alhilal Hamdi berupaya agar hubungan Pertamina-produsen skala kecil terjalin dengan mudah. 'Kami akan memfasilitasi agar tercipta mekanisme paling mudah bagi industri kecil yang memasok Pertamina tanpa perantara. Perantara itu kan biaya. Atau bisa juga langsung dikirim ke SPBU karena jaringan Pertamina luas,' ujar mantan menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi itu. Tentang harga beli, Yuttie mengatakan, 'Harga beli yang ditawarkan produsen harus kompetitif.' Saat ini Pertamina membeli 1 liter bioetanol Rp5.000.
Toh, produsen skala rumahan pun diberi kesempatan mengoplos alias mencampur bioetanol dan premium sendiri untuk dipasarkan. Produsen yang mengoplos tak perlu takut dicokok aparat karena memang dilindungi undang-undang. Yang menggembirakan bioetanol untuk bahan bakar bebas cukai. Itu bukti bahwa pemerintah memang serius mengembangkan bioetanol sebagai sumber energi terbarukan.
Sumber Berita : (Source:www.trubus-online.com/)
Klik ICON INI
untuk meninggalkan Pesan, Kirim Artikel atau Berita anda