RUKUN TETANGGA DAN LAWAN TERORISME
Pascaserangan bom di depan Kedubes Australia, pemerintah berupaya memberdayakan peran rukun tetangga (RT) dalam antiterorisme dan lawan terorisme. Dengan pemberdayaan ini, pemerintah mengharapkan agar setiap RT dapat lebih mengawasi pergerakan manusia yang bermukim di masing-masing RT sehingga bisa sedini mungkin mendeteksi kehadiran orang-orang yang terkait dengan kelompok teroris. Upaya pemerintah ini sesungguhnya merupakan realisasi penanganan terorisme yang berangkat dari falsafah ikan dan air. Namun demikian, ada beberapa hal yang dapat menghambat upaya pemerintah ini ketika dijabarkan ke tingkat operasional di lapangan.
Pertama, masalah administrasi. Secara administratif, RT bukanlah bagian dari struktur pemerintahan sehingga tidak ada rentang komando dan kendali antara struktur pemerintahan pada tingkat terendah dengan RT. Rukun tetangga pada dasarnya dibentuk oleh masyarakat yang hidup pada suatu lingkungan tertentu dan pengawakannya pun berbasis sukarela. Hubungan antara aparat struktur pemerintahan pada tingkat terendah dengannya bukanlah hubungan atasan bawahan, namun lebih pada hubungan kemitraan.
Sebagai konsekuensinya, apa yang dikehendaki oleh aparat pemerintah belum tentu dapat diterapkan begitu saja pada RT. Di samping itu, tidak ada semacam petunjuk standar pembinaan RT yang diterbitkan oleh pemerintah yang menjadi acuan dalam hubungan antara struktur pemerintahan terendah dan RT. Dikaitkan dengan upaya antiterorisme dan lawan terorisme, tidak ada standarisasi dari pemerintah tentang bagaimana langkah-langkah yang harus diambil oleh RT.
Kedua, masalah hukum. Secara hukum, RT tidak memiliki kekuatan hukum dalam bertindak mengawasi warganya kecuali menyangkut wajib lapor 2x24 jam bagi tamu atau pendatang baru di lingkungan RT tersebut. Pertanyaannya kemudian, apa yang bisa dilakukan RT bila kewajiban itu tidak dilaksanakan oleh pendatang? Ditinjau dari aspek hukum, RT tidak dapat berbuat apa pun kecuali melaporkannya kepada aparat keamanan, khususnya Polri.
Berangkat dari situ, apakah benar RT selama ini telah mengawasi pergerakan manusia di lingkungannya seperti yang diharapkan? Seberapa banyak kasus di mana tamu atau pendatang baru yang tidak melapor, yang kemudian oleh RT diteruskan kepada Polri? Banyak atau sedikitnya kasus yang sampai kepada Polri dapat dijadikan indikator sejauh mana keseriusan RT di satu sisi untuk mengawasi pergerakan manusia di lingkungannya dan di sisi lain, keseriusan Polri menangani masalah lalu lintas manusia yang terkait dengan kependudukan. Sepengetahuan penulis, masalah pelanggaran kependudukan merupakan salah satu masalah yang jarang sampai kepada pihak Polri dan biasanya ditangani oleh pemerintah daerah saja.
Fakta lain menunjukkan bahwa RT sesungguhnya tidak memiliki aparat keamanan guna mengawasi lingkungannya karena yang memiliki aparat keamanan adalah kelurahan atau desa. Aparat keamanan itu pun kewenangannya sangat terbatas bila dibandingkan dengan Polri misalnya. Sementara hubungan antara aparat keamanan, khususnya Polri dengan RT khususnya di kota-kota besar tidak terlalu dekat sehingga bukanlah hal yang mengherankan bila terkadang warga RT enggan berurusan dengan Polri.
Multikultural
Ketiga, masalah budaya. Di kota-kota besar, lingkungan pemukiman yang ada biasanya bersifat multikultural di mana bermacam orang dari beragam budaya yang berbeda hidup bersama di suatu lingkungan. Sehingga sudah pasti setiap RT biasanya merupakan lingkungan yang multikultural pula. Dalam lingkungan yang multikultural tersebut, pengurus RT dituntut pemahamannya akan latar belakang budaya yang beragam. Masalahnya adalah tidak jarang dijumpai bahwa tidak sedikit pengurus RT berasal dari lingkungan budaya yang berbeda dengan mayoritas warganya.
Keempat, masalah kualitas sumber daya manusia. Fakta menunjukkan bahwa kepengurusan RT bersifat sukarela sehingga tidak jarang yang menjadi pengurus RT adalah warga yang berminat saja. Bahkan ada kalanya terjadi suksesi di kepengurusan RT dari bapak kepada anak. Yang patut diperhatikan adalah tidak semua pengurus RT diisi oleh sumber daya manusia yang memadai, bahkan ada kesan kuat bahwa warga yang sumber daya manusianya tergolong memadai cenderung tidak ingin duduk di kepengurusan RT.
Adapun alasan yang paling klasik adalah karena kesibukan kerja dari warga tersebut. Dalam kondisi seperti ini, terlebih lagi pada lingkungan yang multikultural, dapat diprediksi bahwa tidaklah gampang menata kehidupan di tingkat RT apabila kualitas sumber daya manusia pengurus RT rendah. Terlebih lagi dalam konteks antiterorisme dan lawan terorisme, tentunya dibutuhkan pengurus RT yang memiliki pemahaman yang jelas tentang seluk-beluk terorisme. Tanpa itu, tampaknya sulit untuk mengharapkan peran RT guna mengawasi pergerakan manusia di lingkungannya.
Penanganan terorisme, baik antiterorisme maupun lawan terorisme harus mempersyaratkan adanya kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat. Karena hanya dengan begitulah maka kondisi “air” dapat dipersempit sehingga dapat menangkap “ikan” yang dicari. Eksistensi satuan lawan terorisme seperti Detasemen 88 tidak akan ada artinya bila tidak ada peran dari citizen soldier karena peran citizen soldier merupakan tulang punggung di dalam aksi untuk memperkecil “air”.
Kegagalan berulang kali yang dialami Polri untuk menangkap “ikan” selama dua tahun terakhir merupakan bukti tak terbantahkan bahwa upaya penanganan terorisme bukan wilayah mutlak dan tunggal dari Polri saja.
Sumber Berita :
Klik ICON INI
untuk meninggalkan Pesan, Kirim Artikel atau Berita anda